Nisa sudah
besar sekarang. Ia baru saja menerima rapor dan dinyatakan naik ke kelas yang
lebih tinggi dari sebelumnya. Kelas 4 Sekolah Dasar Negeri 1 Garut. Yang juga
pernah diduduki olehku pada tahun yang sudah lama berlalu. Masa lalu yang indah
bagiku, ketika Ibu masih sehat dan bekerja penuh semangat untuk membiayai
sekolahku dan membeli susu untuk Aisyah. Saat itu Nisa belum lahir di dunia
ini. Tapi adikku yang pertama sudah berumur 8 bulan. Yang sekarang sudah kelas
3 SMP dan sudah bisa berdandan cantik saat keluar rumah. Meskipun aku risih dan
selalu menegurnya setiap aku ada di rumah. Karena menurutku ia belum pantas
untuk berdandan seperti itu, apalagi usianya yang menginjak pubertas. Maklum,
seorang wanita memang selalu ingin tampil sempurna supaya diperhatikan para
lelaki. Ah, aku sudah tahu itu. Jauh sebelum Aisyah bisa berdandan.
Ibu berhenti bekerja sebagai buruh cuci
saat penyakit lamanya kambuh. Aku tak tahu pasti apa yang melekat dalam tubuh
Ibu. Hingga penyakit itu muncul kembali. Beruntungnya, bayi yang dikandung Ibu
lahir dengan selamat. Ketika aku di pesantren, yang bisa kulakukan hanyalah
mendoakan keselamatan Ibu dan adik kecilku. Tetapi 5 jam setelah lahirnya adik
kecilku itu. Ibu meninggal dalam senyum bahagia. Meninggalkan putri cantik yang
akan menjadi teman baru untukku, dan untuk Aisyah. Serta teman curhat Bapak di
kursi tua itu. Khoirun Nisa. Kami biasa memanggilnya Nisa.
Waktu sangat cepat berlalu. Hingga
akhirnya aku boyong dari pesantren diusia 19 tahun. Ya, 19
tahun. Usia yang cukup muda, bahkan boleh dibilang sangat muda bagi santri
untuk boyong. Tapi karena aku sudah mantap dan yakin, toh apa salahnya
membantu pekerjaan Bapak sebagai kuli sawah--kerjaan sampingan Bapak--sebelum
sorenya mengajar ngaji di salah satu madrasah ternama di desaku. Itu juga yang
diajarkan oleh kyai ku; Ilmu mantap. Kalau kita sudah mantap dengan sesuatu,
semua keraguan akan sirna karena ilmu ini. Sangat manjur bagi orang-orang yang
ragu dengan sesuatu. Percayalah.
* * *
Aku benar-benar dihadapkan pada ujian
yang sangat berat. Bapak pergi meninggalkan kami bertiga untuk selamanya.
Serangan jantung yang menimpa Bapak subuh itu mengagetkanku dan para tetangga.
Ah, Aisyah sudah kelas 3 SMP. Bagaimana aku membiayai sekolah selanjutnya?
Nisa, sudah kelas 4 SD sekarang. Bisakah aku membiayai pendidikannya?
Beruntung, profesi Bapak sebagai pengajar dan kuli sawah bisa digantikan olehku
dengan bekal yang aku dapat dari pesantren. Jika situasi seperti ini, aku bisa
diajak sengsara. Eh, sederhana. Maksudku. Di rumah berukuran 8x5 meter itu
cukup untuk menjaga kami dari dinginnya malam dan panasnya terik matahari.
1
Semuanya aku
jalani dengan ikhlas. Benar-benar ikhlas.
* * *
"Mas! Mas!" Teriak Nisa,
kakinya dengan cepat menuju arahku. Tangannya memegangi rok panjang yang ia
kenakan. Ia menangis.
"Kenapa Nisa?" Tanyaku sambil
memegang kepalanya.
"Nisa terluka Mas, parah."
Katanya sambil tersedu. Kuamati dari luar. Tidak ada tanda-tanda luka parah.
"Luka? Parah? Di bagian mana,
sayang?"
"Em..Em..Nisa malu mengatakan
Mas."
"Sudah, sekarang Nisa tenang dulu,
terus cerita sama Mas Farhan." Kuberikan gelas berisi setengah air itu.
Lalu diminumnya.
"Waktu Nisa sampai di depan rumah,
darah itu keluar dari 'jalan depan' Nisa Mas, Nisa takut."
"Sakit atau tidak?"
"Tidak. Tapi pas darahnya keluar
terasa panas." Aku tersenyum.
"Tidak apa sayang, itu tandanya Nisa
sudah besar, sudah punya tanggungan sendiri. Itu namanya darah haid. Semua
perempuan mengalami itu kok. Termasuk ibu." Kujelaskan kepada Nisa tentang
darah yang keluar itu. Kini ia tak menangis lagi.
"Terus Nisa harus melakukan apa
sekarang?"
"Nisa mandi, terus bersihkan bagian
yang keluar darah tadi, sampai bersih, ya."
"Iya Mas."
"Eh, satu lagi sayang, jangan
shalat, baca Quran, pegang juga tidak boleh." Ia mengerutkan kening.
Bibirnya manyun.
"Lho, kok Mas Farhan malah melarang
Nisa ibadah sih, kan kata bapak ibadah itu wajib bagi setiap muslim." Nisa
coba menentang.
Ya.. Maklumlah, anak kecil yang mengalami
masa baru. Belum bisa menerima hal-hal baru juga. Ku katakan saja enteng.
"Memang benar. Tapi dikecualikan bagi perempuan yang sedang haid. Termasuk
Nisa ini." Aku tersenyum.
2
"Oh..Berarti Nisa tidak perlu ibadah
lagi?"
"Bukan berarti begitu. Nisa tetap
ibadah, tapi setelah darahnya sudah benar-benar tak keluar lagi." Ia hanya
mengangguk.
Hah..Lega sekarang. Nisa sudah besar.
Sudah menjadi tanggunganku untuk selalu mengontrol semua tindakannya.
Mengawasinya untuk selalu menunaikan shalat 5 waktu. Aku selalu mendirikan
jamaah bersama Nisa dan Aisyah. Hampir setiap hari. Mengajaknya untuk selalu
ziarah ke makam Ibu dan Bapak di hari Kamis dan Jumat. Dan menasihatinya supaya
menjaga sikap dan pilah-pilih teman dalam bergaul. Apalagi Aisyah. Aku khawatir
jika ia bergaul terlalu bebas. Dan aku selalu berusaha memberi pengawasan pada
parasnya yang ayu itu. Meskipun aku percaya ia bisa menjaga diri. Tetapi
memiliki dua perempuan yang masih gadis merupakan tanggung jawab yang besar
untukku. Jika aku gagal dalam membimbing mereka dengan baik. Ibu, Bapak, dan Kiai-ku
tidak akan bangga padaku. Tapi jika sebaliknya? Mereka pasti bangga, meskipun
berada di alam sana.
Kitab Al-Jurumiyyah dan Tuhfatul
Athfal menjadi makananku sehari-hari di madrasah diniyyah As Salafiyyah
di desaku, kecuali di hari Kamis dan Jumat. Mengajar bocah-bocah yang belum
mengerti dasar-dasar ilmu Nahwu dan ilmu Tajwid. Sekadar menyalurkan ilmu yang
aku dapat dari pesantren. Kau tahu? Diusiaku sekarang ini, aku sudah menjadi
guru ngaji. Berbanding terbalik dengan teman-teman seusiaku. Kuliah di
universitas dengan jurusannya masing-masing. Tapi entah, keinginanku dulu untuk
kuliah di jurusan agama sirna begitu saja. Toh, jika aku ingin menanyakan
sesuatu tentang agama, aku tinggal bertanya kepada kiai-kiai yang sudah sepuh
di sini. Meskipun sudah cukup banyak yang aku dapat dari pesantren.
Dulu, sebelum aku berada di pesantren.
Aku selalu menginginkan kehidupan yang kaya, yang hebat, dan yang sukses.
Pokoknya kehidupan yang 'wah'. Tapi, semenjak aku berada di pesantren aku tak
lagi memimpikan hal itu. Kata Kiai, orang yang kaya belum tentu hidup dalam
kebahagiaan, kenyamanan, apalagi keharmonisan. Tapi, hidup sederhana saja sudah
bisa membawa seseorang kepada kebahagiaan, keharmonisan, dan kenikmatan hidup.
Dengan apa? Dengan kuatnya iman. Dengan cinta Allah, sehingga bisa bermesraan dengan-Nya
lewat ibadah yang ditunaikan. Mungkin jika aku tidak belajar dipesantren, aku
tidak dapat mengajarkan ini pada Nisa dan Aisyah tentang ini. Sangat penting.
Lebih penting dari pada ilmu materi dan ilmu teori. Begitulah bahagianya hidup
dengan kasih sayang Allah. Nyaman karena dalam lindungan Allah. Dan harmonis
menjalin hubungan dengan-Nya. Tapi, istiqamah adalah syaratnya, apalagi?
Konsisten. Ya!
Nisa dan Aisyah tidak pernah mengeluh
ataupun menyesalkan kehidupan yang sekarang. Aku sudah terbiasa dengan
kehidupan seperti ini. Makanya aku menggunakannya pada keseharian kami. Supaya
Nisa dan Aisyah nantinya tidak kaget dengan kehidupan yang sesederhana ini.
3
"Mas. Mas Farhan tak perlu kerja
berat-berat lagi untuk Aisyah." Kata Aisyah, ketika makan malam.
"Memangnya kenapa?"
"Aisyah dapat beasiswa Mas, semua
biaya sekolah, termasuk uang saku, sudah disediakan. Sampai nanti Aisyah
lulus."
"Siapa yang menyediakan semua
itu?"
"Sekolah Aisyah yang sekarang. Aisyah
dapat nilai terbaik dalam ujian masuk sekolah. Makanya Aisyah dapat beasiswa
Mas."
"Alhamdulillah. Syukur. Harus lebih
semangat belajar lagi ya, sayang."
"Iya Mas. Aisyah janji. Tapi Mas
juga harus mendoakan Aisyah supaya sukses."
"Iya. Mas janji."
Kupeluk Nisa dan Aisyah dalam dekapanku.
Aku bahagia sekarang. Meskipun harus terus
mengajar di desaku. Entah sampai kapan akan seperti ini. Mengajar bocah-bocah
yang berbeda setiap tahun dengan materi yang sama; Ilmu Nahwu dan Tajwid. Kau
tahu? Memiliki ilmu yang manfaat merupakan impian seorang santri. Dan aku sudah
memilikinya. Melaksanakan amal-amal shaleh merupakan impian seorang muslim. Dan
aku, Insya Allah selalu melaksanakannya. Berbakti pada orang tua dan mendoakan
kedua orang tua yang sudah tak ada merupakan impian seorang anak. Dan Insya
Allah aku telah mewujudkannya. Dengan ini, Insya Allah Ibu, Bapak, dan Kiai-ku
bangga dengan keberhasilanku menjadi insan yang shaleh, yang akrom, yang sudah
melaksanakan dan mewujudkan ketiga hal tadi dalam dunia yang sudah rusak ini.
Tidak ada komentar: